Ok tanpa perlu berpanjang lebar, check this out kaka~
Tongkat
yang Bukan Tongkat
Aku masih duduk disitu. Tepat di
depan kesaktianku. Aku merangkai huruf
demi huruf dan kata demi kata. Kesaktianku yang lain berbunyi “tininit tininit”.
Ah, sudah saatnya membersihkan tongkatku. Aku meraih tongkat di sebelahku. Aku
dekap tongkat itu erat-erat dan aku belai. Aku ambil sehelai kain untuk
mengelap permukaannya. Air mataku perlahan menetes di tengah keheningan. Hening
.. sendiri tanpa siapapun. Tak ada teman atau sahabat.
Awalnya hidupku bahagia. Walaupun
mungkin tidak bisa dikatakan mewah dan megah yaaah … tapi aku cukup bahagia.
Aku tinggal di sebuah desa bernama Babacan. Aku punya istri yang sangat cantik.
Kembang desa, kata semua orang di sekelilingku. Aku sangat beruntung mendapat
seorang istri seperti Mahisa. Ia tidak
hanya cantik rupanya, melainkan cantik hatinya. Setiap pagi aku selalu
berangkat ke ladang dan siang hari aku akan berkunjung ke sungai untuk mencari
ikan. Babacan bukanlah tempat tinggal yang mewah. Banyak yang hidup kekurangan
disini termasuk kami. Terkadang Mahisa
yang baik hati memberikan ikan tangkapanku pada tetangga yang kelaparan. Mahisa
juga sering membakar jagung dan memberikannya pada beberapa ibu tua di sekitar
rumah kami. Aku tahu kami miskin namun memiliki Mahisa membuatku lupa akan hal
itu.
Suatu waktu terjadi kekeringan yang sangaat dahsyat.
Air sulit ditemukan dan persediaan bahan makanan berkurang sedikit demi
sedikit. Banyak orang yang kelaparan hingga meninggal. Beruntunglah aku dan
istriku masih mempunyai beberapa singkong simpanan. Hari ini singkong habis dan
aku harus mengambil singkong lain di kebun kami. Aku tidak yakin masih ada
singkong yang bisa tumbuh di sela-sela kekeringan seperti ini. Sesampainya disana
alangkah beruntungnya aku menemukan singkong yang masih tumbuh. Aku pikir
singkong ini akan cukup untuk tiga hari ke depan. Namun, di terngah perjalanan
aku bertemu dengan seorang ibu tua yang lemas dan pucat pasi. Ia tergeletak di
pinggir jalan. Wanita tua itu masih hidup namun bibirnya sangat kering.
Sepertinya ia belum makan selama beberapa hari. Aku tidak tega meninggalkannya
dalam keadaan seperti itu. Aku mengambil batok kelapa dan berusaha mencari
sungai terdekat. Akibat kekeringan yang dahsyat, air sungai kering kerontang.
Aku tidak bisa membawakan air untuk ibu tersebut. Akhirnya aku memberikannya
air bekalku. Ibu itu sangat berterima kasih atas pertolonganku. Walaupun terlihat sedikit segar, Ibu itu masih
belum bisa jalan karena sangat lemas. Aku tidak tahu apa yang harus aku
lakukan. Rasa iba menghampiriku dan tanpa sadar aku memberikan singkong itu
pada ibu tersebut. Ia pun merasa kaget dan bertanya apakah aku benar-benar
yakin memberikan singkong itu padanya. Entah gerangan apa yang merasukiku. Aku
sangat ingin menolongnya. Wanita tua itu menangis dan tak henti-hentinya
mengucapkan terima kasih. Dan begitulah diriku …. Pulang dengan tanpa hampa dan
memberi makan angin pada istriku tercinta. Namun seperti yang aku katakan di
awal, istriku adalah bidadari. Hatinya yang seputih kapas mengerti hal tersebut
dan tidak mempermasalahkan apa yang ku lakukan sore tadi.
Malam pun menyapa mengusir sang fajar. Aku tahu
istriku lapar. Begitu juga denganku. Namun, bidadari tersebut hanya tidur dan
berharap kantuk dapat mengobati rasa laparnya. Aku mencoba tertidur juga namun
apa daya perutku meraung-raung dengan ganas. Aku bangkit dari tempat tidur dan
keluar gubuk untuk sekedar mencari angin. Aku lebih dari sekadar lapar. Ah,
seandainya tiba-tiba jatuh hujan dari langit. Hujan singkong atau ubi. Aku
pasti sangat bersyukur. Aku berjalan kesana kemari. Dinginnya malam terasa
sangat menggigit dan hanya ada batu di depan ku. Aku pernah dengar, sesuatu
yang dimakan saat sangat lapar akan menjadi sangat nikmat. Apa mungkin batu
akan teasa lebih nikmat jika dimakan dalam keadaan lapar seperti ini? Entahlah,
aku belum tahu dan sepertinya tidak tertarik untuk mencari tahu. Ketika aku
sedang sibuk bergulat dengan berbagai pertanyaan di benakku tiba-tiba terdengar
suara gedebuk dan muncul kilauan cahaya dari balik pohon. Aku tidak tahu apa itu.
Tiba-tiba muncul lah seorang perempuan yang sangat cantik. Aku sudah bilang
Mahisa seperti bidadari tapi perempuan ini … ah, kau tidak akan pernah bisa
memungkiri bahwa dia sangat … sangaat cantik. Rambut ikalnya terlihat hitam
berkilau, kulitnya kuning langsat dan mata birunya ah … laparku terasa hilang
sejenak. Ia mengenakan gaun putih dan yang lebih luar biasa … ia mengeluarkan
cahaya dari tubuhnya. Wah, luar biasa. Aku merasa aku sedang bermimpi.
“Halo
Adam! Masih ingat aku?”
“Si-siapa
kamu? Apa kita pernah bertemu?”
“Tentu
saja, kita bertemu siang tadi. Kau menolongku dan memberikanku air dan singkong. Ingat?”
“Hemhh
tapi … yang aku tolong siang tadi …
“Adalah
ibu tua yang tergelatak di pinggir jalan, mukanya jelek, rambutnya berantakan,
badannya lemas, dan bibirnya kering. Itu kan yang kamu pikirkan? ” potong
wanita cantik itu.
“Hahaha
sudah ku kira kamu tidak akan bisa mengenaliku dalam wujud asliku. Aku Enelis.
Aku adalah dewi kesembilan dari delapan dewi yang ada di khayangan. Ah
sebentar, sepertinya ada yang aneh …? Oh maaf maaf, maksudku, aku adalah dewi
ketujuh dari delapan dewi yang ada di khayangan. Aku tidak terlalu pandai
berhitung.”
“Ah
ya… begitu ya …”
“Loh,
kamu tidak kaget? Tidak terkejut?”
“Aku
terlalu lapar untuk terkejut” jawabku
“Ah
begitu rupanya … baiklah.”
Wanita
itu mengangkat tangannya. “Tralala trilili sim sim”. Tiba-tiba muncullah
sepiring makanan. Ia mempersilahkan aku untuk menyantap makanan itu. Aku
menciumnya. Baunya sangat enak. Aku tidak tahu makanan apa itu. Baunya yang
nikmat membuatku menghabiskannya dalam sekejap. Dewi cantik itu tersenyum
menatapku.
“
Baiklah, sudah cukup kenyang untuk terkejut? haha”
Aku
hanya bisa nyengir menahan malu.
“Aku
kesini untuk berterima kasih atas kebaikanmu sekaligus memberikanmu hadiah.”
“Hadiah?
Hadiah apa?”
“Karena
kebaikan hatimu, aku akan mengabulkan satu permintaanmu.”
“Wah,
benarkah??”
“Tentu
saja.”
“Apapun?”
“Apapun
… kecuali menikahiku. Aku sudah tunangan soalnya dan juga aku tidak mau dimadu.”
Jawabnya sambil menunjukkan jari manisnya.”
“Hemmh
… apa ya??”
“Apapun, Dam. Apapun yang kau minta akan aku
kabulkan.”
Setelah
berpikir beberapa saat akhirnya aku memutuskan permintaanku
“Aku
mau kesaktian.”
“Kesaktian??”
“Iya
kesaktian.” Tegasku.
“Kesaktian
yang bagaimana?”
“Hemhh
… kesaktian yang membuat aku dan istriku bisa selalu makan enak tanpa istriku harus
capek-capek memasak. Kesaktian yang bisa membuat aku dan istriku makan nasi
dengan nikmat tanpa Mahisa perlu memasaknya di dandang tua. Kesaktian yang
membuat kami bisa melihat seluruh dunia. Kesaktian yang membuat orang lain menyanyi
untuk aku dan istriku kapanpun kami ingin mendengarkan hiburan. Kesaktian yang
membuat aku tidak harus kepanasan saat musim kemarau. Kesaktian yang bisa
membuat bajuku dan istriku bersih tanpa istriku perlu mencuci di sungai. Kesaktian
yang membuat kami bisa tinggal di rumah yang bagus dan bukan gubuk seperti yang
kami miliki sekarang. Kesaktian yang bisa membuatku mengeluarkan air tanpa harus
menimba terlebih dahulu. Ya, aku ingin kesaktian seperti itu.” jelasku panjang
lebar.
“Wah,
banyak juga ya kesaktianmu. Kenapa kamu ingin memiliki kesaktian?”
“Aku
sudah lelah hidup seperti ini dewi. Aku juga bosan kelaparan.”
“Bukankah
kamu sudah bahagia hidup dengan Mahisa?”
“Ya
benar, Mahisa membuatku bahagia namun kerasnya hidup membuatku merasa lelah.”
“Baiklah, karena aku sudah berjanji, aku akan
mengabulkan permintaanmu. Pergilah ke laut selatan bersama istrimu menjelang
petang esok hari. Disana kamu akan melihat sebuah benda seperti rakit di tengah
laut. Rakit yang sangat besar itu adalah kapal. Kamu harus naik ke dalam kapal
itu bersama istrimu. Namun, ada satu janji yang harus kau penuhi”
“Apa
itu dewi?”
“Selama
perjalanan dari rumah hingga ke laut selatan kamu tidak boleh menoleh ke
istrimu. Kamu juga harus menggandengnya
sepanjang jalan hingga naik ke dalam kapal. Selain itu, kamu tidak boleh makan
apapun yang ada di dalam kapal itu. Jika kamu melanggar janjimu maka akan
terjadi hal yang tidak kamu inginkan dalam hidupmu”
“Baik
dewi, aku berjanji.”
“Bagus,
aku pegang janjimu, ya. Aku pergi dulu Adam.”
“Tunggu
sebentar dewi!”
“Ada
apa?”
“Bolehkah
aku meminta makanan tadi sepiring lagi? Mahisa belum makan dari kemarin.”
“Jadi,
kamu mau kesaktian atau makanan? Ingat loh, permintaanmu hanya satu.” ledek
dewi itu.
“Jadi
tidak boleh ya?” tanyaku sedih
“Haha
boleh kok boleh. Aku kan baik hati.”
Dewi
Enelis kembali mengangkat tangannya dan dengan lantang mengucapkan “tralala
trilili sim sim”
Tiba-tiba
muncullah sepiring makanan di tangannya.
“Ini,
berikanlah pada Mahisa.”
“Terima
kasih dewi. Terima kasih.”
“Sama-sama.
Aku pergi dulu.”
Keesokan harinya aku pergi bersama
Mahisa. Seperti janjiku pada Dewi Enelis aku tidak menoleh ke Mahisa sepanjang
jalan. Sesampainya di Laut Selatan, aku melihat benda yang dikatakan Dewi
Enelis. Ya, rakit itu sangat besar. Sangaaaat besar dan … tidak seperti rakit.
Aku dan Mahisa naik ke dalam kapal. Luar biasa! Tidak ada lagi perkataan yang dapat
kusebutkan. Rakit ini sangat luar biasa! Sesampainya di atas kapal terlihat
seseorang yang berpakaian sangat rapi menghampiri kami dan menawarkan
buah-buahan. Aku menolak dengan sopan. Beberapa saat kemudian, datanglah orang
lainnya menawarkan jagung bakar. Ah .. Aku ingin tapi … tidak tidak. Beberapa
saat kemudian datang seseorang lainnya membawa ubi bakar yang terlihat sangat
nikmat. Baunya menggodaku. Aku berpikir mungkin tidak apa-apa jika mencoba
sedikit. Lantas aku pun mengambil ubi bakar itu dan melepaskan genggaman
istriku. Tiba-tiba gumpalan asap muncul dari tubuh Mahisa. Aku sangat kaget.
Belum habis kagetku tiba-tiba kapal berguncang dengan hebat dan naik ke atas
langit. Aku terjatuh dan kepalaku membentur dinding kapal.
Secercah cahaya membangunkanku. Aku
mengerjapkan mata perlahan. Dewi Enelis berdiri di depanku sambil tersenyum.
“Sudah
sadar, Adam? Masih pusing?”
“Iya
kepalaku pusing sekali.”
“Selamat
datang di dunia yang sakti. Aku menyebutnya abad 21. Keinginanmu sudah
terwujud.“
“Terima
kasih tapi dimana istriku?”
“Dia
ada di sebelahmu,”
Aku
menoleh ke kanan dan ke kiri namun tetap tidak bisa menemukan Mahisa.
“Aku
tidak melihatnya, dimana dia?”
Dewi
Enelis lalu menunjuk sebuah tongkat di sampingku.
“Itu
Mahisa. Ia telah berubah menjadi tongkat karena kamu melanggar janjimu untuk
tidak melepaskan genggamannya dan tidak makan apapun di kapal itu.”
“Apaaaa??
Tapi Dewi aku …. Aku ….”
Aku menyesal telah melanggar janjiku Aku kehilangan
kata. Aku mendekap erat tongkat itu dengan penuh tangis tepat seperti saat ini.
Lalu aku pun menyeka air mataku. Tongkat ini bukan sekedar tongkat. Tongkat ini
akan menjadi cinta pertamaku dan cinta terakhirku.
Sekarang aku hidup di dunia yang sangat sakti dan
tentu akupun juga ikut menjadi sakti. Aku bisa makan tanpa harus memasak. Yang
perlu aku lakukan hanyalah mengatakan “tralala trilili sim sim” sambil memencet
14*45 pada sebuah benda penuh angka dan mengatakan “Halo aku mau ayam dan nasi.”
Lalu secara ajaib makanan akan tiba di hadapanku 30 menit kemudian. Aku juga
bisa makan nasi tanpa memasaknya di dalam dandang. Aku hanya perlu memasukan
butiran beras ke dalam sebuah alat bundar bernama rice cooker dan secara ajaib beras akan berubah menjadi nasi.
Keinginanku agar orang lain menyanyi untukku kapanpun aku mau juga terwujud.
Aku hanya perlu mengatakan ‘tralala trilili sim sim’ dan menekan tombol
bertuliskan ‘on’ pada sebuah benda kotak lalu secara ajaib orang-orang yang
mengatakan bahwa mereka berasal dari pramb*rs
akan menyanyikan lagu untukku. Aku juga tidak perlu menimba air. Cukup ‘tralala
trilili sim sim’ sambil memutar sebuah alat bernama keran dan air akan keluar
tanpa henti. Kesaktianku belum selesai. Sekarang aku tidak perlu mencuci bajuku
sendiri dan tidak akan pernah kepanasan saat musim kemarau. Semua hanya perlu ‘tralala
trilili sim sim’ sambil menekan tombol on lalu sebuah benda kotak yang kata Enelis
bernama mesin cuci dan AC akan
mencuci baju dan mendinginkan ruangan. Matahari mulai bergeser ke arah barat. Sudah
saatnya aku melihat dunia. Aku kembali mengucap ‘tralala trilili sim sim’
sambil menekan tombol ‘on’ pada sebuah benda persegi panjang dengan berbagai
nomor di dalamnya. Secara ajaib aku bisa keliling dunia. Aku bisa melihat
Korea, Jepang, Australia dan masih banyak lagi. Aku menyebut ini sebagai
kesaktian yang paling hebat. Dewi Enelis mengatakan padaku bahwa ini adalah TV. Wow! Aku sakti sekarang! Aku bangga!
Tapi aku masih rindu Mahisa dan semua tetangga kami di Babacan. Kalau waktu
bisa diulang, aku tidak akan pernah menukar Mahisa dan kehidupanku dengan
tongkat dan kesaktian ini. Tidak akan pernah …
0 komentar:
Posting Komentar