Wince: Penpop Ceria #4 : Life is a Boom Bust Cycle

Senin, 28 April 2014

Penpop Ceria #4 : Life is a Boom Bust Cycle

Diposting oleh Winda (윈다) di 21.43
Huaaaa udah lama ga ngepos penpop. Baiklah, kali ini cerita yang gue tulis adalah dongeng dengan sorot balik. Mungkin sebagian dari anda taunya flashback. Yah semacam itulah ya. Menurut gue agak susah karena gue kabur dengan definisi sorot balik itu sendiri, awalnya. Alhasil dongeng yang gue bikin kurang bisa dibilang dongeng sorot balik. Kebetulan gue nulis ini setelah nonton divergent, jadi gue masih agak terobsesi dengan masa depan. Selain itu minggu sebelumnya bapake juga nyuruh kita berimajinasi sedemikian rupa. Jadilah gue nulis dongeng ini.  Sayangnya hasil tulisan gue ini ga dapet terlalu bagus hikss. Eke pos komentarnya kapan-kapan. Sekarang lagi ga bawa kertasnya huhu. Well, life is a really boom bust cycle. Ada kalanya lo di atas walaupun lebih banyak di bawahnya lol. Ga lah ya kaaak :D



Ok tanpa perlu berpanjang lebar, check this out kaka~




Tongkat yang Bukan Tongkat

            Aku masih duduk disitu. Tepat di depan kesaktianku. Aku merangkai  huruf demi huruf dan kata demi kata. Kesaktianku yang lain berbunyi “tininit tininit”. Ah, sudah saatnya membersihkan tongkatku. Aku meraih tongkat di sebelahku. Aku dekap tongkat itu erat-erat dan aku belai. Aku ambil sehelai kain untuk mengelap permukaannya. Air mataku perlahan menetes di tengah keheningan. Hening .. sendiri tanpa siapapun. Tak ada teman atau sahabat.
            Awalnya hidupku bahagia. Walaupun mungkin tidak bisa dikatakan mewah dan megah yaaah … tapi aku cukup bahagia. Aku tinggal di sebuah desa bernama Babacan. Aku punya istri yang sangat cantik. Kembang desa, kata semua orang di sekelilingku. Aku sangat beruntung mendapat seorang istri seperti  Mahisa. Ia tidak hanya cantik rupanya, melainkan cantik hatinya. Setiap pagi aku selalu berangkat ke ladang dan siang hari aku akan berkunjung ke sungai untuk mencari ikan. Babacan bukanlah tempat tinggal yang mewah. Banyak yang hidup kekurangan disini termasuk kami.  Terkadang Mahisa yang baik hati memberikan ikan tangkapanku pada tetangga yang kelaparan. Mahisa juga sering membakar jagung dan memberikannya pada beberapa ibu tua di sekitar rumah kami. Aku tahu kami miskin namun memiliki Mahisa membuatku lupa akan hal itu.
Suatu waktu terjadi kekeringan yang sangaat dahsyat. Air sulit ditemukan dan persediaan bahan makanan berkurang sedikit demi sedikit. Banyak orang yang kelaparan hingga meninggal. Beruntunglah aku dan istriku masih mempunyai beberapa singkong simpanan. Hari ini singkong habis dan aku harus mengambil singkong lain di kebun kami. Aku tidak yakin masih ada singkong yang bisa tumbuh di sela-sela kekeringan seperti ini. Sesampainya disana alangkah beruntungnya aku menemukan singkong yang masih tumbuh. Aku pikir singkong ini akan cukup untuk tiga hari ke depan. Namun, di terngah perjalanan aku bertemu dengan seorang ibu tua yang lemas dan pucat pasi. Ia tergeletak di pinggir jalan. Wanita tua itu masih hidup namun bibirnya sangat kering. Sepertinya ia belum makan selama beberapa hari. Aku tidak tega meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Aku mengambil batok kelapa dan berusaha mencari sungai terdekat. Akibat kekeringan yang dahsyat, air sungai kering kerontang. Aku tidak bisa membawakan air untuk ibu tersebut. Akhirnya aku memberikannya air bekalku. Ibu itu sangat berterima kasih atas pertolonganku.  Walaupun terlihat sedikit segar, Ibu itu masih belum bisa jalan karena sangat lemas. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasa iba menghampiriku dan tanpa sadar aku memberikan singkong itu pada ibu tersebut. Ia pun merasa kaget dan bertanya apakah aku benar-benar yakin memberikan singkong itu padanya. Entah gerangan apa yang merasukiku. Aku sangat ingin menolongnya. Wanita tua itu menangis dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Dan begitulah diriku …. Pulang dengan tanpa hampa dan memberi makan angin pada istriku tercinta. Namun seperti yang aku katakan di awal, istriku adalah bidadari. Hatinya yang seputih kapas mengerti hal tersebut dan tidak mempermasalahkan apa yang ku lakukan sore tadi.
Malam pun menyapa mengusir sang fajar. Aku tahu istriku lapar. Begitu juga denganku. Namun, bidadari tersebut hanya tidur dan berharap kantuk dapat mengobati rasa laparnya. Aku mencoba tertidur juga namun apa daya perutku meraung-raung dengan ganas. Aku bangkit dari tempat tidur dan keluar gubuk untuk sekedar mencari angin. Aku lebih dari sekadar lapar. Ah, seandainya tiba-tiba jatuh hujan dari langit. Hujan singkong atau ubi. Aku pasti sangat bersyukur. Aku berjalan kesana kemari. Dinginnya malam terasa sangat menggigit dan hanya ada batu di depan ku. Aku pernah dengar, sesuatu yang dimakan saat sangat lapar akan menjadi sangat nikmat. Apa mungkin batu akan teasa lebih nikmat jika dimakan dalam keadaan lapar seperti ini? Entahlah, aku belum tahu dan sepertinya tidak tertarik untuk mencari tahu. Ketika aku sedang sibuk bergulat dengan berbagai pertanyaan di benakku tiba-tiba terdengar suara gedebuk dan muncul kilauan cahaya dari balik pohon. Aku tidak tahu apa itu. Tiba-tiba muncul lah seorang perempuan yang sangat cantik. Aku sudah bilang Mahisa seperti bidadari tapi perempuan ini … ah, kau tidak akan pernah bisa memungkiri bahwa dia sangat … sangaat cantik. Rambut ikalnya terlihat hitam berkilau, kulitnya kuning langsat dan mata birunya ah … laparku terasa hilang sejenak. Ia mengenakan gaun putih dan yang lebih luar biasa … ia mengeluarkan cahaya dari tubuhnya. Wah, luar biasa. Aku merasa aku sedang bermimpi.

“Halo Adam! Masih ingat aku?”
“Si-siapa kamu? Apa kita pernah bertemu?”
“Tentu saja, kita bertemu siang tadi. Kau menolongku dan memberikanku air  dan singkong. Ingat?”
“Hemhh tapi … yang aku tolong siang tadi …
“Adalah ibu tua yang tergelatak di pinggir jalan, mukanya jelek, rambutnya berantakan, badannya lemas, dan bibirnya kering. Itu kan yang kamu pikirkan? ” potong wanita cantik itu.
“Hahaha sudah ku kira kamu tidak akan bisa mengenaliku dalam wujud asliku. Aku Enelis. Aku adalah dewi kesembilan dari delapan dewi yang ada di khayangan. Ah sebentar, sepertinya ada yang aneh …? Oh maaf maaf, maksudku, aku adalah dewi ketujuh dari delapan dewi yang ada di khayangan. Aku tidak terlalu pandai berhitung.”
“Ah ya… begitu ya …”
“Loh, kamu tidak kaget? Tidak terkejut?”
“Aku terlalu lapar untuk terkejut”  jawabku
“Ah begitu rupanya … baiklah.”
Wanita itu mengangkat tangannya. “Tralala trilili sim sim”. Tiba-tiba muncullah sepiring makanan. Ia mempersilahkan aku untuk menyantap makanan itu. Aku menciumnya. Baunya sangat enak. Aku tidak tahu makanan apa itu. Baunya yang nikmat membuatku menghabiskannya dalam sekejap. Dewi cantik itu tersenyum menatapku.
“ Baiklah, sudah cukup kenyang untuk terkejut? haha”
Aku hanya bisa nyengir menahan malu.

“Aku kesini untuk berterima kasih atas kebaikanmu sekaligus memberikanmu hadiah.”
“Hadiah? Hadiah apa?”
“Karena kebaikan hatimu, aku akan mengabulkan satu permintaanmu.”
“Wah, benarkah??”
“Tentu saja.”
“Apapun?”
“Apapun … kecuali menikahiku. Aku sudah tunangan soalnya dan juga aku tidak mau dimadu.” Jawabnya sambil menunjukkan jari manisnya.”
“Hemmh … apa ya??”
“Apapun,  Dam. Apapun yang kau minta akan aku kabulkan.”

Setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku memutuskan permintaanku
“Aku mau kesaktian.”
“Kesaktian??”
“Iya kesaktian.” Tegasku.
“Kesaktian yang bagaimana?”
“Hemhh … kesaktian yang membuat aku dan istriku bisa selalu makan enak tanpa istriku harus capek-capek memasak. Kesaktian yang bisa membuat aku dan istriku makan nasi dengan nikmat tanpa Mahisa perlu memasaknya di dandang tua. Kesaktian yang membuat kami bisa melihat seluruh dunia. Kesaktian yang membuat orang lain menyanyi untuk aku dan istriku kapanpun kami ingin mendengarkan hiburan. Kesaktian yang membuat aku tidak harus kepanasan saat musim kemarau. Kesaktian yang bisa membuat bajuku dan istriku bersih tanpa istriku perlu mencuci di sungai. Kesaktian yang membuat kami bisa tinggal di rumah yang bagus dan bukan gubuk seperti yang kami miliki sekarang. Kesaktian yang bisa membuatku mengeluarkan air tanpa harus menimba terlebih dahulu. Ya, aku ingin kesaktian seperti itu.” jelasku panjang lebar.
“Wah, banyak juga ya kesaktianmu. Kenapa kamu ingin memiliki kesaktian?”
“Aku sudah lelah hidup seperti ini dewi. Aku juga bosan kelaparan.”
“Bukankah kamu sudah bahagia hidup dengan Mahisa?”
“Ya benar, Mahisa membuatku bahagia namun kerasnya hidup membuatku merasa lelah.”
 “Baiklah, karena aku sudah berjanji, aku akan mengabulkan permintaanmu. Pergilah ke laut selatan bersama istrimu menjelang petang esok hari. Disana kamu akan melihat sebuah benda seperti rakit di tengah laut. Rakit yang sangat besar itu adalah kapal. Kamu harus naik ke dalam kapal itu bersama istrimu. Namun, ada satu janji yang harus kau penuhi”
“Apa itu dewi?”
“Selama perjalanan dari rumah hingga ke laut selatan kamu tidak boleh menoleh ke istrimu. Kamu  juga harus menggandengnya sepanjang jalan hingga naik ke dalam kapal. Selain itu, kamu tidak boleh makan apapun yang ada di dalam kapal itu. Jika kamu melanggar janjimu maka akan terjadi hal yang tidak kamu inginkan dalam hidupmu”
“Baik dewi, aku berjanji.”
“Bagus, aku pegang janjimu, ya. Aku pergi dulu Adam.”
“Tunggu sebentar dewi!”
“Ada apa?”
“Bolehkah aku meminta makanan tadi sepiring lagi? Mahisa belum makan dari kemarin.”
“Jadi, kamu mau kesaktian atau makanan? Ingat loh, permintaanmu hanya satu.” ledek dewi itu.
“Jadi tidak boleh ya?” tanyaku sedih
“Haha boleh kok boleh. Aku kan baik hati.”
Dewi Enelis kembali mengangkat tangannya dan dengan lantang mengucapkan “tralala trilili sim sim”
Tiba-tiba muncullah sepiring makanan di tangannya.
“Ini, berikanlah pada Mahisa.”
“Terima kasih dewi. Terima kasih.”
“Sama-sama. Aku pergi dulu.”

            Keesokan harinya aku pergi bersama Mahisa. Seperti janjiku pada Dewi Enelis aku tidak menoleh ke Mahisa sepanjang jalan. Sesampainya di Laut Selatan, aku melihat benda yang dikatakan Dewi Enelis. Ya, rakit itu sangat besar. Sangaaaat besar dan … tidak seperti rakit. Aku dan Mahisa naik ke dalam kapal. Luar biasa!  Tidak ada lagi perkataan yang dapat kusebutkan. Rakit ini sangat luar biasa! Sesampainya di atas kapal terlihat seseorang yang berpakaian sangat rapi menghampiri kami dan menawarkan buah-buahan. Aku menolak dengan sopan. Beberapa saat kemudian, datanglah orang lainnya menawarkan jagung bakar. Ah .. Aku ingin tapi … tidak tidak. Beberapa saat kemudian datang seseorang lainnya membawa ubi bakar yang terlihat sangat nikmat. Baunya menggodaku. Aku berpikir mungkin tidak apa-apa jika mencoba sedikit. Lantas aku pun mengambil ubi bakar itu dan melepaskan genggaman istriku. Tiba-tiba gumpalan asap muncul dari tubuh Mahisa. Aku sangat kaget. Belum habis kagetku tiba-tiba kapal berguncang dengan hebat dan naik ke atas langit. Aku terjatuh dan kepalaku membentur dinding kapal.
            Secercah cahaya membangunkanku. Aku mengerjapkan mata perlahan. Dewi Enelis berdiri di depanku sambil tersenyum.
“Sudah sadar, Adam? Masih pusing?”
“Iya kepalaku pusing sekali.”
“Selamat datang di dunia yang sakti. Aku menyebutnya abad 21. Keinginanmu sudah terwujud.“
“Terima kasih tapi dimana istriku?”
“Dia ada di sebelahmu,”
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri namun tetap tidak bisa menemukan Mahisa.
“Aku tidak melihatnya, dimana dia?”

Dewi Enelis lalu menunjuk sebuah tongkat di sampingku.
“Itu Mahisa. Ia telah berubah menjadi tongkat karena kamu melanggar janjimu untuk tidak melepaskan genggamannya dan tidak makan apapun di kapal itu.”
“Apaaaa?? Tapi Dewi aku …. Aku ….”
Aku menyesal telah melanggar janjiku Aku kehilangan kata. Aku mendekap erat tongkat itu dengan penuh tangis tepat seperti saat ini. Lalu aku pun menyeka air mataku. Tongkat ini bukan sekedar tongkat. Tongkat ini akan menjadi cinta pertamaku dan cinta terakhirku.
Sekarang aku hidup di dunia yang sangat sakti dan tentu akupun juga ikut menjadi sakti. Aku bisa makan tanpa harus memasak. Yang perlu aku lakukan hanyalah mengatakan “tralala trilili sim sim” sambil memencet 14*45 pada sebuah benda penuh angka dan mengatakan “Halo aku mau ayam dan nasi.” Lalu secara ajaib makanan akan tiba di hadapanku 30 menit kemudian. Aku juga bisa makan nasi tanpa memasaknya di dalam dandang. Aku hanya perlu memasukan butiran beras ke dalam sebuah alat bundar bernama rice cooker dan secara ajaib beras akan berubah menjadi nasi. Keinginanku agar orang lain menyanyi untukku kapanpun aku mau juga terwujud. Aku hanya perlu mengatakan ‘tralala trilili sim sim’ dan menekan tombol bertuliskan ‘on’ pada sebuah benda kotak lalu secara ajaib orang-orang yang mengatakan bahwa mereka berasal dari pramb*rs akan menyanyikan lagu untukku. Aku juga tidak perlu menimba air. Cukup ‘tralala trilili sim sim’ sambil memutar sebuah alat bernama keran dan air akan keluar tanpa henti. Kesaktianku belum selesai. Sekarang aku tidak perlu mencuci bajuku sendiri dan tidak akan pernah kepanasan saat musim kemarau. Semua hanya perlu ‘tralala trilili sim sim’ sambil menekan tombol on lalu sebuah benda kotak yang kata Enelis bernama mesin cuci dan AC akan mencuci baju dan mendinginkan ruangan. Matahari mulai bergeser ke arah barat. Sudah saatnya aku melihat dunia. Aku kembali mengucap ‘tralala trilili sim sim’ sambil menekan tombol ‘on’ pada sebuah benda persegi panjang dengan berbagai nomor di dalamnya. Secara ajaib aku bisa keliling dunia. Aku bisa melihat Korea, Jepang, Australia dan masih banyak lagi. Aku menyebut ini sebagai kesaktian yang paling hebat. Dewi Enelis mengatakan padaku bahwa ini adalah TV. Wow! Aku sakti sekarang! Aku bangga! Tapi aku masih rindu Mahisa dan semua tetangga kami di Babacan. Kalau waktu bisa diulang, aku tidak akan pernah menukar Mahisa dan kehidupanku dengan tongkat dan kesaktian ini. Tidak akan pernah …

0 komentar:

Posting Komentar

 

Wince Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review