Wince: April 2014

Selasa, 29 April 2014

Penpop Ceria #5 : Life is a Boom Bust Cycle (2)

Diposting oleh Winda (윈다) di 18.58 0 komentar

Here it is ... Another cerpen gagal gue yang dapet nilai jelek dari bapake. Padahal ini uts yang jelas jelas bobotnya ... aaah sedih haha. Tapi ya sudahlah. Teguran juga mungkin untuk ga ngerjain tugas mepet mepet deadlinenya. Ini adalah tulisan tercepat yang gue hasilkan. Hanya dalam waktu dua jam saudara saudara! Waktu itu gue lagi konsentrasi penuh benerin bab 2 sambil toel toel bab 3. Jadi ya begitulah, gue kurang ngasih perhatian sama matkul satu ini. Hampir ga ada editing lol. Kata mba tici ini kaya cerita FTV wew. Entahlah ... but honestly, ini adalah tulisan yang gue bikin dengan perasaan paling bahagia. Berasa nulis blog waktu bikin cerpen ini haha. Baiklah silahkan dinikmati


Serabi Hollywood


Aku pusing. Pusing dan sangat pusing. Bukannya aku tidak rela memberikan uangku untuk Delia dan ibunya. Toh delia juga tidak memintaku untuk membantunya. Tapi hati nuraniku yang menyuruhku demikian. Masih teringat jelas di benakku, wajah Delia yang layu dan tatapannya yang kosong. Sebuah notifikasi muncul di layar. Ada pesan dari Maman.
Bro kita berangkat dari Bandung besok jam 5 pagi. Maneh[1] teh udah siap ya jemput kita di stasiun.”

Aku menghela nafas. Sebuah kekecewaan muncul di dadaku. Aku memiliki tiga sahabat bernama Dadang Sudadang, Maman Sumaman dan Adri Bahsyah. Kami ini bisa dikatakan sebagai F4nya Indonesia. Masih ingat F4 kan, pastinya? Kumpulan empat cowok tampan dalam sebuah serial drama Taiwan terkenal bernama Meteor Garden. Anda percaya? Tidak? Bagus … percayalah pada Tuhan, jangan pada kami. Kami selalu melakukan segala hal bersama. Main, belajar, hingga berjalan-jalan. Kami juga memiliki selera yang sama mulai dari klub bola hingga band idola. Sayangnya, kebersamaan kami mulai dilanda badai saat mendekat hari kelulusan SMA. Dadang dan Maman mantap melanjutkan pendidikan di kota kembang, Adri berkelana ke timur jawa dan aku berkelana ke Depok. Konser Maroon 5 ini menjadi momentum kembalinya kebersamaan kami. Kami memang sudah menyukai Maroon 5 sejak SMP karena itulah kami sudah mulai mencari uang dan menyisihkan uang jajan untuk bisa menonton konser band yang digawangi Adam Levine itu suatu hari. Setelah melewati penantian panjang, keinginan kami tercapai. Bulan Juni lalu sebuah promotor musik ternama di Indonesia. Betapa gembiranya kami semua.
Hari ini adalah hari yang telah kami sepakati bersama untuk membeli tiket Maroon 5 langsung dari kantor promotor yang mendatangkan band ternama itu.Namun, sebuah hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya terjadi. Delia, teman yang sejak dulu menyiksaku dengan menjulukiku anak ambu mengalami sebuah musibah. Ayahnya yang merupakan anggota DPR ditangkap KPK dan ibunya masuk rumah sakit karena diabetes. Aku tidak sengaja bertemu Delia ketika ia sedang berada dalam perjalanan ke rumah sakit. Tidak seperti biasanya, wajah Delia layu dan tatapannya kosong. Aku khawatir dan mengikutinya ke rumah sakit. Aku baru tahu kalau ibu Delia masuk ke UGD setelah sempat shock dan kadar gulanya menurun drastis karena suaminya ditangkap KPK. Hal yang lebih parah adalah Delia merupakan anak tunggal dan seluruh asset dan tabungan keluarganya dibekukan KPK. Ia tidak punya uang sama sekali untuk membayar pengobatan ibunya. Temanku ini begitu bingung. Paman dan bibinya sudah meminjamkan uang hingga sepuluh juta namun ia masih memerlukan sekitar 1,5 juta lagi untuk memenuhi biaya pengobatan ibunya. 1,5 juta … ya, jumlah yang sama dengan tiket konser kelas festival Maroon 5. Aku bimbang. Aku bukan berasal dari keluarga kaya karena itu aku menabung dari dulu untuk bisa membeli tiket konser Maroon 5. Sekarang pertanyaannya adalah tegakah anda melihat teman anda yang selalu ceria tiba-tiba ditimpa musibah dan berubah seratus persen? Hari itu menjadi menjadi akhir pengharapanku menyanyikan she will be loved bersama Adam Levine.

Aku tersadar dari lamunanku. Aku buka handphone dan mengetik sebuah pesan untuk Maman.
“Man, maaf ya. Urang teh kayaknya ga jadi nonton Maroon 5.”
Beberapa menit kemudian datanglah telepon dari Dadang.
“Sep, maneh seriusan ga jadi nonton Maroon 5? Maneh teh udah gila ya?” hardik Dadang
Urang[2] serius dang. Uang urang habis buat bantuin pengobatan ibu temen urang.”
Sesaat hening. Lalu muncul suara Adri.
“Tapi ini Maroon 5 Seeeep, Maroon 5! Kamu teh tega pisan.”
“Maaf ya, tapi kalian masih bisa kok nginep di kos urang. Nanti urang anterin juga ke kantor promotornya.”

Kata orang sahabat itu seperti daki, menempel erat dengan tubuh. Seperti itulah F4 cabang bandung alias sahabat-sahabatku ini. Mereka tetap datang ke Jakarta. Namun, bukan untuk menonton Maroon 5 melainkan menemaniku menghabiskan malam saat ribuan M5 menyanyikan payphone di JCC. So sweet, ya?
“Eh eh eh liat deh.” ucap Dadang
“Apaan Dang?” sahutku
“Ini ada lomba bisnis dengan hadiah utama mewakili Indonesia di ajang lomba internasional yang akan diadakan di Stanford University, Amerika!” jawab Dadang
“Ya, terus kenapa emangnya Dang?”
“Duuh kalian ini gimana sih? Sekarang urang tanya. Stanford teh dimana?”
“Berlin.” celetuk Maman
“Yee, sejak kapan? Yang bener teh di Tokyo hahaha” sahut Adri sambil melakukan tos dengan Maman.
“Heeuh dasar anak gila maneh teh! Stanford itu di California.”
Adri yang sedang mengobrol dengan pacarnya melalui BBM dan Maman yang sedang sibuk main game online tiba-tiba menghentikan aktivitasnya begitupun aku.
“California?? Beuuh basecampnya Maroon 5 dong!”
“Ya makanya. Terus ini liat deh. Peserta yang lolos akan mengikuti lomba dari tanggal 3-4 April. Seluruh biaya akomodasi dan tiket pesawat ditanggung penyelenggara. Peserta juga diperbolehkan melakukan city tour dengan tujuan bebas pada tanggal 5 April. Nah coba cek man, ada nggak konser Maroon 5 tanggal 5 April.” Perintah Dadang
Maman pun langsung membuka browser setelah mendengar komando Dadang.

“Ada dang tapi di Hollywood jam 7 malam.”
“Nah ga masalah, Hollywood teh kan masih di California jadi masih memungkinlah untuk dijangkau. Artinya kita masih bisa nonton konser Maroon 5.”
“Nonton Maroon 5 di Amerika?? Gratis pula! Waaah! ” ucap Adri berapi-api
“Itu juga dengan catatan kalo kita ikut lomba ini dan menang di tingkat nasional.” Jelas Dadang
“Ga masalah dang. Kata abah saya teh ada seribu jalan menuju Hollywood!”jawab Maman
“Ok, jadi udah deal ya kita bakal ikut lomba ini. Masalahya teh sekarang kita mau buat produk atau jasa apa nih buat lomba ini?”
“Tongtip bro! Tongkat ngintip. Jadi ini teh inovasi dari tongsis, tongkat narsis yang biasa dipake ABG ABG itu buat selfie[3]. Gunanya adalah ya .. untuk ngintip hahhaa” celetuk Adri ringan
“Wah kalo gitu urang konsumen pertama deh dri hahaha.” timpal Maman semangat
“Heiishh dasar kalian teh otak mesum.” Hardik Dadang
“Serius dong … jadi apa nih? Nggak mungkin serabi kan?” omelku
“Eh tapi bisa juga sih sep. Asal serabinya kita kasih inovasi. Jadi bukan serabi biasa.”

“Inovasinya gimana? Serabi mah gitu-gitu aja kali Dang. Masa mau dikasih es krim atau potongan daging gitu? Maneh teh aya-aya wae[4]” ucap Maman
“Eh eh! Itu juga bisa! Jadi serabinya kita bikin lebih tipis terus diselipin es krim di dalemnya. Nah, untuk adonan dan semacamnya kan ada Asep Sukasep nih yang ambunya adalah expert dalam biang perserabian. Gimana sep? Memungkinkan ga sep kalo kita bikin produk kaya gitu?”
“Ya memungkinkan aja sih. Seperti kata Dadang tadi, serabi ini kita bikin lebih tipis. Nah, supaya bisa diberi isi kita buat dua lapis nanti teh kita bisa cari adonan pelekatnya. Buat isian juga kita bisa isi saus buah seperti saus strawberry, blueberry dan bahkan saus duren. Ide si maman tadi the bagus juga. Jadi serabinya bisa kita kasih topping daging atau jamur dan di dalamnya kita masukin keju Mozarella. Jadi pas digigit bleesss”
“Dan serabi ini kita buat supaya bisa dikemas juga. Jadi lebih praktis dan bisa dibawa kemana-mana. Nanti kemasannya saya yang desain. Bisa kita masukin motif batik atau pesan-pesan budaya lainnya”
“Siiip! Udah oke banget nih ide kita. Masalahnya sekarang cuma satu.”
“Apa tuh dang? Tanyaku
“Ini proposalnya kan harus dibuat dalam bahasa Inggris, nah kalian ada nggak yang bisa nerjemahin proposal.”
“Waduuuh, berat mainannya bahasa Inggris. Maneh kan tau sendiri dang, urang hampir diputusin si pira gara-gara ga bisa ngomong ‘ep’. Jangankan cas cis cus bahasa Inggris, ngomong ‘ep’ aja urang setengah mati.” Sahut Maman
“Urang teh bisa tapi ya ga jago.” Jawabku
“Dang, ulah ngaliat ka urang. Urang teh hampir ga lulus UN gara-gara bahasa Inggris.” jawab Adri

“Tok-tok-tok”
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku
“Ya sebentar …” sahutku
“Sep, ada yang nyari kamu tuh di depan.” ucap Dimas, teman satu kosku
“Oh, makasih ya mas.”

 Aku langsung keluar untuk menyambut tamuku. Aku membuka pintu dan tiba-tiba terlihat sosok yang tak asing bagiku.
“Eh, Delia. Ada apa, ya?”
“Aseep. Gue kesini buat ngucapin terima kasih sama lo karena kemarin lo udah bantuin biaya administrasi nyokap gue. Gue denger dari Lita katanya itu uang buat nonton konser Maroon 5 ya? Duh, maaf banget ya. gue jadi ngerepotin lo dan maaf juga gue belum bisa balikin uang lo. Seperti yang lo tau semua tabungan gue dibekuin sama KPK gara-gara kasus bokap gue.” ucap Delia panjang lebar.
“Gapapa del, gue udah ikhlasin kok ga nonton Maroon 5 tahun ini. Mungkin emang belum rejeki gue hehe.”
Tiba-tiba pintu terbuka. Dadang, Maman dan Adri jatuh tersungkur di depan pintu. Rupanya tanpa aku sadari mereka mencuri dengar sambil mengintip dari tadi. Mereka bertiga hanya bisa tersenyum malu di depan Delia.
“Heh ngapain? Bikin malu aja kalian teh! Nih kenalin teman urang. Delia namanya.”
“Halo, gue Delia tapi biasa dipanggil jelo.”
“Jelo? Pasti nama depannya mau tau a … mau tau aje lo. Hahaha.” canda Adri
“Jelo itu kalo kita mau ke warung pak Kusno dari rumah Adri. Lurus .. jelo kanan … terus jelo kiri hahaha. timpal Maman
“Itu belok bro! BELOK!” amukku.
“Saya Dadang, ini teman saya Adri dan Maman.”
“Eh, Delia teh jago bahasa Inggris ga?” tembak Adri
“Hemhh, lumayan bisa sih. Dulu gue pernah tinggal di Aussie waktu SMA.”
“Wuiiih canggih! Itu mah bukan jago lagi namanya.”
“Delia, sorry to say nih, tapi Delia mau bantu kita ga nerjemahin proposal bisnis?” tanya Dadang sopan
“Boleh kok, boleh banget. Gue juga tertarik sama bisnis”
“Atau gimana kalo Delia gabung di tim kita? Jadi gini, kita mau ikut lomba bisnis dan anggota tim maksimal adalah lima orang. Nah kayaknya bakal lebih seru kalo Delia gabung di tim kita.” celetuk Maman
“Wah, asiik! Makasih ya udah diajak.” jawab Delia.

Hari itu juga kami langsung rapat, menyusun konsep dan membuat proposal. Adri bertugas menyiapkan desain kemasan yang menarik, Delia dan Dadang fokus pada penyusunan proposal sementara aku dan Maman bertanggung jawab pada teknis produk. Keesokan harinya kami berangkat ke Bandung untuk melakukan eksperimen serabi. Mentor kami adalah ambuku tercinta dan laboraturium kami adalah dapur rumahku. Setelah mencoba berbagai teknik membuat serabi dengan ide-ide kami akhirnya muncullah serabi-serabi inovatif kami dengan rasa yang menggugah selera tentunya.
“Keren bangeeet, bro!” puji Dadang
“Wiih ini dia nih serabi Hollywood!” celetuk Adri.
“Serabi Hollywood? Wah, namanya keren banget tuh. Bisa jadi filosofi dari pembuatan serabi ini. Serabi Hollywood. Serabi lokal citarasa internasional.” jelas Dadang
Tiga minggu kemudian F4 datang lagi ke Jakarta. Kami dan Delia melakukan presentasi di depan juri. Awalnya kami ragu bisa menang karena ide dari tim lainnya sungguh luar biasa. Namun berkat kerja keras, semangat dan doa, kami memenangkan lomba ini. Hari ini mungkin akan jadi hari yang tidak terlupakan bagi kami. Setelah gagal nonton Maroon 5 di Jakarta, kami menginjakkan kaki di California. Dua hari kemarin otak kami diperas habis-habisan untuk menampilkan yang terbaik demi nama baik Indonesia. Now, it’s time to refreshing! Kami masih di dalam bus menuju Hollywood. Sebuah kotak dengan desain batik dan rangkaian album Maroon 5 tertata cantik dipandang mata. Ya ini dia, paket serabi Hollywood untuk bintang di Hollywood. Asep Sukasep, Dadang Sudadang, Maman Sumaman, Adri Bahsyah dan Delia Armelita sudah sangat siap melonjak-lonjak menyanyikan lagu One More Night atau  Misery. Hollywood, we’re comiiiinggg!!


[1] Maneh adalah bahasa Sunda dari kata kamu
[2] Urang adalah bahasa Sunda dari kata aku
[3] Selfie adalah bahasa gaul yang berarti memotret diri sendiri
[4] Aya-aya wae : Ada-ada saja


Hadiah dari bapake. Sedih hiksss T.T Gonna try better and better next time! Semangaat!


Senin, 28 April 2014

Penpop Ceria #4 : Life is a Boom Bust Cycle

Diposting oleh Winda (윈다) di 21.43 0 komentar
Huaaaa udah lama ga ngepos penpop. Baiklah, kali ini cerita yang gue tulis adalah dongeng dengan sorot balik. Mungkin sebagian dari anda taunya flashback. Yah semacam itulah ya. Menurut gue agak susah karena gue kabur dengan definisi sorot balik itu sendiri, awalnya. Alhasil dongeng yang gue bikin kurang bisa dibilang dongeng sorot balik. Kebetulan gue nulis ini setelah nonton divergent, jadi gue masih agak terobsesi dengan masa depan. Selain itu minggu sebelumnya bapake juga nyuruh kita berimajinasi sedemikian rupa. Jadilah gue nulis dongeng ini.  Sayangnya hasil tulisan gue ini ga dapet terlalu bagus hikss. Eke pos komentarnya kapan-kapan. Sekarang lagi ga bawa kertasnya huhu. Well, life is a really boom bust cycle. Ada kalanya lo di atas walaupun lebih banyak di bawahnya lol. Ga lah ya kaaak :D



Ok tanpa perlu berpanjang lebar, check this out kaka~




Tongkat yang Bukan Tongkat

            Aku masih duduk disitu. Tepat di depan kesaktianku. Aku merangkai  huruf demi huruf dan kata demi kata. Kesaktianku yang lain berbunyi “tininit tininit”. Ah, sudah saatnya membersihkan tongkatku. Aku meraih tongkat di sebelahku. Aku dekap tongkat itu erat-erat dan aku belai. Aku ambil sehelai kain untuk mengelap permukaannya. Air mataku perlahan menetes di tengah keheningan. Hening .. sendiri tanpa siapapun. Tak ada teman atau sahabat.
            Awalnya hidupku bahagia. Walaupun mungkin tidak bisa dikatakan mewah dan megah yaaah … tapi aku cukup bahagia. Aku tinggal di sebuah desa bernama Babacan. Aku punya istri yang sangat cantik. Kembang desa, kata semua orang di sekelilingku. Aku sangat beruntung mendapat seorang istri seperti  Mahisa. Ia tidak hanya cantik rupanya, melainkan cantik hatinya. Setiap pagi aku selalu berangkat ke ladang dan siang hari aku akan berkunjung ke sungai untuk mencari ikan. Babacan bukanlah tempat tinggal yang mewah. Banyak yang hidup kekurangan disini termasuk kami.  Terkadang Mahisa yang baik hati memberikan ikan tangkapanku pada tetangga yang kelaparan. Mahisa juga sering membakar jagung dan memberikannya pada beberapa ibu tua di sekitar rumah kami. Aku tahu kami miskin namun memiliki Mahisa membuatku lupa akan hal itu.
Suatu waktu terjadi kekeringan yang sangaat dahsyat. Air sulit ditemukan dan persediaan bahan makanan berkurang sedikit demi sedikit. Banyak orang yang kelaparan hingga meninggal. Beruntunglah aku dan istriku masih mempunyai beberapa singkong simpanan. Hari ini singkong habis dan aku harus mengambil singkong lain di kebun kami. Aku tidak yakin masih ada singkong yang bisa tumbuh di sela-sela kekeringan seperti ini. Sesampainya disana alangkah beruntungnya aku menemukan singkong yang masih tumbuh. Aku pikir singkong ini akan cukup untuk tiga hari ke depan. Namun, di terngah perjalanan aku bertemu dengan seorang ibu tua yang lemas dan pucat pasi. Ia tergeletak di pinggir jalan. Wanita tua itu masih hidup namun bibirnya sangat kering. Sepertinya ia belum makan selama beberapa hari. Aku tidak tega meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Aku mengambil batok kelapa dan berusaha mencari sungai terdekat. Akibat kekeringan yang dahsyat, air sungai kering kerontang. Aku tidak bisa membawakan air untuk ibu tersebut. Akhirnya aku memberikannya air bekalku. Ibu itu sangat berterima kasih atas pertolonganku.  Walaupun terlihat sedikit segar, Ibu itu masih belum bisa jalan karena sangat lemas. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasa iba menghampiriku dan tanpa sadar aku memberikan singkong itu pada ibu tersebut. Ia pun merasa kaget dan bertanya apakah aku benar-benar yakin memberikan singkong itu padanya. Entah gerangan apa yang merasukiku. Aku sangat ingin menolongnya. Wanita tua itu menangis dan tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Dan begitulah diriku …. Pulang dengan tanpa hampa dan memberi makan angin pada istriku tercinta. Namun seperti yang aku katakan di awal, istriku adalah bidadari. Hatinya yang seputih kapas mengerti hal tersebut dan tidak mempermasalahkan apa yang ku lakukan sore tadi.
Malam pun menyapa mengusir sang fajar. Aku tahu istriku lapar. Begitu juga denganku. Namun, bidadari tersebut hanya tidur dan berharap kantuk dapat mengobati rasa laparnya. Aku mencoba tertidur juga namun apa daya perutku meraung-raung dengan ganas. Aku bangkit dari tempat tidur dan keluar gubuk untuk sekedar mencari angin. Aku lebih dari sekadar lapar. Ah, seandainya tiba-tiba jatuh hujan dari langit. Hujan singkong atau ubi. Aku pasti sangat bersyukur. Aku berjalan kesana kemari. Dinginnya malam terasa sangat menggigit dan hanya ada batu di depan ku. Aku pernah dengar, sesuatu yang dimakan saat sangat lapar akan menjadi sangat nikmat. Apa mungkin batu akan teasa lebih nikmat jika dimakan dalam keadaan lapar seperti ini? Entahlah, aku belum tahu dan sepertinya tidak tertarik untuk mencari tahu. Ketika aku sedang sibuk bergulat dengan berbagai pertanyaan di benakku tiba-tiba terdengar suara gedebuk dan muncul kilauan cahaya dari balik pohon. Aku tidak tahu apa itu. Tiba-tiba muncul lah seorang perempuan yang sangat cantik. Aku sudah bilang Mahisa seperti bidadari tapi perempuan ini … ah, kau tidak akan pernah bisa memungkiri bahwa dia sangat … sangaat cantik. Rambut ikalnya terlihat hitam berkilau, kulitnya kuning langsat dan mata birunya ah … laparku terasa hilang sejenak. Ia mengenakan gaun putih dan yang lebih luar biasa … ia mengeluarkan cahaya dari tubuhnya. Wah, luar biasa. Aku merasa aku sedang bermimpi.

“Halo Adam! Masih ingat aku?”
“Si-siapa kamu? Apa kita pernah bertemu?”
“Tentu saja, kita bertemu siang tadi. Kau menolongku dan memberikanku air  dan singkong. Ingat?”
“Hemhh tapi … yang aku tolong siang tadi …
“Adalah ibu tua yang tergelatak di pinggir jalan, mukanya jelek, rambutnya berantakan, badannya lemas, dan bibirnya kering. Itu kan yang kamu pikirkan? ” potong wanita cantik itu.
“Hahaha sudah ku kira kamu tidak akan bisa mengenaliku dalam wujud asliku. Aku Enelis. Aku adalah dewi kesembilan dari delapan dewi yang ada di khayangan. Ah sebentar, sepertinya ada yang aneh …? Oh maaf maaf, maksudku, aku adalah dewi ketujuh dari delapan dewi yang ada di khayangan. Aku tidak terlalu pandai berhitung.”
“Ah ya… begitu ya …”
“Loh, kamu tidak kaget? Tidak terkejut?”
“Aku terlalu lapar untuk terkejut”  jawabku
“Ah begitu rupanya … baiklah.”
Wanita itu mengangkat tangannya. “Tralala trilili sim sim”. Tiba-tiba muncullah sepiring makanan. Ia mempersilahkan aku untuk menyantap makanan itu. Aku menciumnya. Baunya sangat enak. Aku tidak tahu makanan apa itu. Baunya yang nikmat membuatku menghabiskannya dalam sekejap. Dewi cantik itu tersenyum menatapku.
“ Baiklah, sudah cukup kenyang untuk terkejut? haha”
Aku hanya bisa nyengir menahan malu.

“Aku kesini untuk berterima kasih atas kebaikanmu sekaligus memberikanmu hadiah.”
“Hadiah? Hadiah apa?”
“Karena kebaikan hatimu, aku akan mengabulkan satu permintaanmu.”
“Wah, benarkah??”
“Tentu saja.”
“Apapun?”
“Apapun … kecuali menikahiku. Aku sudah tunangan soalnya dan juga aku tidak mau dimadu.” Jawabnya sambil menunjukkan jari manisnya.”
“Hemmh … apa ya??”
“Apapun,  Dam. Apapun yang kau minta akan aku kabulkan.”

Setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku memutuskan permintaanku
“Aku mau kesaktian.”
“Kesaktian??”
“Iya kesaktian.” Tegasku.
“Kesaktian yang bagaimana?”
“Hemhh … kesaktian yang membuat aku dan istriku bisa selalu makan enak tanpa istriku harus capek-capek memasak. Kesaktian yang bisa membuat aku dan istriku makan nasi dengan nikmat tanpa Mahisa perlu memasaknya di dandang tua. Kesaktian yang membuat kami bisa melihat seluruh dunia. Kesaktian yang membuat orang lain menyanyi untuk aku dan istriku kapanpun kami ingin mendengarkan hiburan. Kesaktian yang membuat aku tidak harus kepanasan saat musim kemarau. Kesaktian yang bisa membuat bajuku dan istriku bersih tanpa istriku perlu mencuci di sungai. Kesaktian yang membuat kami bisa tinggal di rumah yang bagus dan bukan gubuk seperti yang kami miliki sekarang. Kesaktian yang bisa membuatku mengeluarkan air tanpa harus menimba terlebih dahulu. Ya, aku ingin kesaktian seperti itu.” jelasku panjang lebar.
“Wah, banyak juga ya kesaktianmu. Kenapa kamu ingin memiliki kesaktian?”
“Aku sudah lelah hidup seperti ini dewi. Aku juga bosan kelaparan.”
“Bukankah kamu sudah bahagia hidup dengan Mahisa?”
“Ya benar, Mahisa membuatku bahagia namun kerasnya hidup membuatku merasa lelah.”
 “Baiklah, karena aku sudah berjanji, aku akan mengabulkan permintaanmu. Pergilah ke laut selatan bersama istrimu menjelang petang esok hari. Disana kamu akan melihat sebuah benda seperti rakit di tengah laut. Rakit yang sangat besar itu adalah kapal. Kamu harus naik ke dalam kapal itu bersama istrimu. Namun, ada satu janji yang harus kau penuhi”
“Apa itu dewi?”
“Selama perjalanan dari rumah hingga ke laut selatan kamu tidak boleh menoleh ke istrimu. Kamu  juga harus menggandengnya sepanjang jalan hingga naik ke dalam kapal. Selain itu, kamu tidak boleh makan apapun yang ada di dalam kapal itu. Jika kamu melanggar janjimu maka akan terjadi hal yang tidak kamu inginkan dalam hidupmu”
“Baik dewi, aku berjanji.”
“Bagus, aku pegang janjimu, ya. Aku pergi dulu Adam.”
“Tunggu sebentar dewi!”
“Ada apa?”
“Bolehkah aku meminta makanan tadi sepiring lagi? Mahisa belum makan dari kemarin.”
“Jadi, kamu mau kesaktian atau makanan? Ingat loh, permintaanmu hanya satu.” ledek dewi itu.
“Jadi tidak boleh ya?” tanyaku sedih
“Haha boleh kok boleh. Aku kan baik hati.”
Dewi Enelis kembali mengangkat tangannya dan dengan lantang mengucapkan “tralala trilili sim sim”
Tiba-tiba muncullah sepiring makanan di tangannya.
“Ini, berikanlah pada Mahisa.”
“Terima kasih dewi. Terima kasih.”
“Sama-sama. Aku pergi dulu.”

            Keesokan harinya aku pergi bersama Mahisa. Seperti janjiku pada Dewi Enelis aku tidak menoleh ke Mahisa sepanjang jalan. Sesampainya di Laut Selatan, aku melihat benda yang dikatakan Dewi Enelis. Ya, rakit itu sangat besar. Sangaaaat besar dan … tidak seperti rakit. Aku dan Mahisa naik ke dalam kapal. Luar biasa!  Tidak ada lagi perkataan yang dapat kusebutkan. Rakit ini sangat luar biasa! Sesampainya di atas kapal terlihat seseorang yang berpakaian sangat rapi menghampiri kami dan menawarkan buah-buahan. Aku menolak dengan sopan. Beberapa saat kemudian, datanglah orang lainnya menawarkan jagung bakar. Ah .. Aku ingin tapi … tidak tidak. Beberapa saat kemudian datang seseorang lainnya membawa ubi bakar yang terlihat sangat nikmat. Baunya menggodaku. Aku berpikir mungkin tidak apa-apa jika mencoba sedikit. Lantas aku pun mengambil ubi bakar itu dan melepaskan genggaman istriku. Tiba-tiba gumpalan asap muncul dari tubuh Mahisa. Aku sangat kaget. Belum habis kagetku tiba-tiba kapal berguncang dengan hebat dan naik ke atas langit. Aku terjatuh dan kepalaku membentur dinding kapal.
            Secercah cahaya membangunkanku. Aku mengerjapkan mata perlahan. Dewi Enelis berdiri di depanku sambil tersenyum.
“Sudah sadar, Adam? Masih pusing?”
“Iya kepalaku pusing sekali.”
“Selamat datang di dunia yang sakti. Aku menyebutnya abad 21. Keinginanmu sudah terwujud.“
“Terima kasih tapi dimana istriku?”
“Dia ada di sebelahmu,”
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri namun tetap tidak bisa menemukan Mahisa.
“Aku tidak melihatnya, dimana dia?”

Dewi Enelis lalu menunjuk sebuah tongkat di sampingku.
“Itu Mahisa. Ia telah berubah menjadi tongkat karena kamu melanggar janjimu untuk tidak melepaskan genggamannya dan tidak makan apapun di kapal itu.”
“Apaaaa?? Tapi Dewi aku …. Aku ….”
Aku menyesal telah melanggar janjiku Aku kehilangan kata. Aku mendekap erat tongkat itu dengan penuh tangis tepat seperti saat ini. Lalu aku pun menyeka air mataku. Tongkat ini bukan sekedar tongkat. Tongkat ini akan menjadi cinta pertamaku dan cinta terakhirku.
Sekarang aku hidup di dunia yang sangat sakti dan tentu akupun juga ikut menjadi sakti. Aku bisa makan tanpa harus memasak. Yang perlu aku lakukan hanyalah mengatakan “tralala trilili sim sim” sambil memencet 14*45 pada sebuah benda penuh angka dan mengatakan “Halo aku mau ayam dan nasi.” Lalu secara ajaib makanan akan tiba di hadapanku 30 menit kemudian. Aku juga bisa makan nasi tanpa memasaknya di dalam dandang. Aku hanya perlu memasukan butiran beras ke dalam sebuah alat bundar bernama rice cooker dan secara ajaib beras akan berubah menjadi nasi. Keinginanku agar orang lain menyanyi untukku kapanpun aku mau juga terwujud. Aku hanya perlu mengatakan ‘tralala trilili sim sim’ dan menekan tombol bertuliskan ‘on’ pada sebuah benda kotak lalu secara ajaib orang-orang yang mengatakan bahwa mereka berasal dari pramb*rs akan menyanyikan lagu untukku. Aku juga tidak perlu menimba air. Cukup ‘tralala trilili sim sim’ sambil memutar sebuah alat bernama keran dan air akan keluar tanpa henti. Kesaktianku belum selesai. Sekarang aku tidak perlu mencuci bajuku sendiri dan tidak akan pernah kepanasan saat musim kemarau. Semua hanya perlu ‘tralala trilili sim sim’ sambil menekan tombol on lalu sebuah benda kotak yang kata Enelis bernama mesin cuci dan AC akan mencuci baju dan mendinginkan ruangan. Matahari mulai bergeser ke arah barat. Sudah saatnya aku melihat dunia. Aku kembali mengucap ‘tralala trilili sim sim’ sambil menekan tombol ‘on’ pada sebuah benda persegi panjang dengan berbagai nomor di dalamnya. Secara ajaib aku bisa keliling dunia. Aku bisa melihat Korea, Jepang, Australia dan masih banyak lagi. Aku menyebut ini sebagai kesaktian yang paling hebat. Dewi Enelis mengatakan padaku bahwa ini adalah TV. Wow! Aku sakti sekarang! Aku bangga! Tapi aku masih rindu Mahisa dan semua tetangga kami di Babacan. Kalau waktu bisa diulang, aku tidak akan pernah menukar Mahisa dan kehidupanku dengan tongkat dan kesaktian ini. Tidak akan pernah …

 

Wince Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review