Ahahaha ini dia. Cerpen gue yang paling alay. Judulnya aja alay banget hihi. 암튼 sepertinya gue berhasil melakukan "copy the master". Nilai gue naik sedikit dengan cerpen ini. Ini cerpen risetnya lumayan. Gue segala mesti cari info tentang tempat melamar terbaik di new york ahaha. Ga ada komentar dari bapaknya menandakan bahwa cerita gue ini biasa banget dan ga ada yang mesti dikomentarin. Sedih ahaha. Baiklah silahkan dinikmati
 |
internet-infoku.blogspot.com |
Es Krim Rasa Cinta
Rian masih menjilat-jilat tangkai es
krim itu. Tak ada sedikitpun bagian yang luput dari jilatannya. Senyum puas mengembang di wajahnya. Sementara
itu kakaknya Carisya masih asik dengan cone
es krim di tangannya. Sisa es krim masih membekas di sekeliling mulut gadis
berpita merah itu. Namun, ia tak peduli. Sekilas orang mungkin akan mengira
bahwa mereka belum pernah makan es krim dari lahir. Mereka makan dengan begitu
lahapnya sehingga tidak sempat melihat wajah ayahnya yang tersenyum melihat tingkah
laku dua bocah cilik itu. Bagi mereka, es krim adalah segalanya. Sama seperti
ayahnya yang selalu menganggap kedua bersaudara itu sebagai bagian terindah
dalam hidupnya.
“Ayah,
ini enak sekali! Aku suka es krim rasa ini.” ujar Rian
“Begitukah?
Bagaimana dengan es krim yang tadi pagi?”
“Hemhh,
aku lebih suka es krim ini yah.”
“Kalau
kamu bagaimana sayang?” tanyanya lembut pada gadis semata wayangnya itu.
“Hemhh,
aku suka yah es krim yang ini. Ada rasa blueberry dan sedikit coklat serta ada
rasa buah kecut lainnya. Aku tidak tahu apa tapi itu sangat enak yah, sungguh
aku rasa ini es krim paling enak yang pernah Ayah buat.”
Ayahnya
hanya tersenyum. Ia tahu bahwa Carisya memiliki bakat luar biasa dalam mengecap
makanan. Gadis mungil itu bisa mengetahui dengan rinci bahan dan teknik pembuatan
sebuah makanan hanya dengan mencicipinya
Laki-laki itu lantas menghampiri
tumpukan kardus di sudut ruangan. Diangkatnya beberapa kardus dan dibukanya. Carisya
datang menghampirinya dan ikut membuka kardus lainnya. Sebuah sweater rajut,
gantungan unik berbentuk boneka pasangan yang terbuat dari serabut kelapa dan
tutup cup es krim berwarna pink yang ditaruh dalam bingkai kecil berwarna hitam
menarik
perhatiannya.
“Waaah,
ayah ini lucu sekali. Tapi ini kenapa ini ditaruh dalam bingkai?”
Laki-laki
muda berkacamata itu lantas membalikan badannya. Ia tersentak melihat benda di
tangan Carisya. Ia terdiam. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu … sebuah
masa penuh kenangan.
Burung-burung berkicau menyapa hari.
Bermain-main dengan hembusan angin. Satu dua kerbau mulai berjalan di atas
hamparan sawah hijau. Gunung biru berdiri kokoh di belakang mereka. Tiga anak itu berlari menghampiri sebuah
danau. Dua dari mereka adalah laki-laki.
“Aku
luluuus.” teriak seorang anak
“Aku juga
luluuuus.”teriak anak lainnya
Sementara
itu, satu anak lainnya hanya tersenyum melihat tingkah laku kedua temannya.
“Setelah
ini aku akan pergi ke Bandung untuk melanjutkan SMA.” ujar salah seorang anak
“Aku juga
akan pergi ke Jakarta, ikut kakakku.” sahut si gadis.
Anak
laki-laki yang hanya tersenyum itu tersenyum dengan lebih lebar
“Mas,
kamu akan melanjutkan sekolah disini?” tanya si gadis
“Hemhh,
aku belum tau fa. Bahkan, aku belum tau aku bisa sekolah atau tidak.” sahutnya
Hari demi
hari berlalu. Tibalah hari saat Alifa dan Azwar harus pergi ke kota untuk
melanjutkan pendidikan. Alifa memberikan sebuah sweater rajut pada Dimas
temannya.
“Mas, aku
mungkin akan pergi dalam waktu yang cukup lama. Kakakku berniat menguliahkan
aku di Jakarta. Entah kapan aku akan kembali. Ini untukmu. Aku rajut sendiri
dari tahun lalu hehe.”
Dimas
tak sanggup berkata apa-apa. Ia, Alifa dan Azwar adalah teman dekat sejak
kecil. Tak pernah satu haripun mereka lewati tanpa bermain bersama. Alifa
adalah orang spesial bagi Dimas. Sayangnya Dimas tidak pernah tahu apakah
dirinya juga berarti sama di hati Alifa. Dimas mengantar kepergian dua temannya
itu hingga ke terminal. Mereka berjanji bertemu lagi empat tahun dari sekarang.
Beberapa hari setelah kepergian
kedua temannya, Dimas mulai melamar pekerjaan. Ia tahu keadaan keluarganya
tidak memungkinkan dirinya melanjutkan sekolah. Ia hanya tinggal bersama
ibunya. Ayahnya sudah meninggal beberapa tahun lalu akibat sakit jantung. Dimas
tak punya kakak ataupun adik. Ibunya yang awalnya adalah buruh tani di sawah
ayah Alifa sekarang tak sanggup lagi bekerja karena penyakit yang dideritanya. Pabrik
tahu babah Acong menjadi harapan Dimas. Ia berjalan menghampiri masa depannya.
Babah Acong langsung menyambut Dimas. Pemuda itu lantas mengutarakan niatnya
untuk bekerja di pabrik tahu tersebut. Babah Acong merasa sedih mendengar Dimas
tak bisa melanjutkan sekolah karena masalah finansial yang diderita keluarganya.
Dimas berterima kasih pada babah Acong yang mau menerimanya. Sepulangnya dari
pabrik ia kembali berjalan menghampiri danau. Kali ini ia hanya sendiri. Tak
ada Alifa yang ceria atau Azwar yang cerewet. Tiba-tiba sebuah benda dingin
menyentuh kulitnya. Ia kaget. Seorang gadis berambut ikal sebahu dengan mata
coklat tersenyum padanya. Tangan mungilnya menjulurkan sebuah cup bulat. Ah, es
krim rupanya.
“Hai, gue
Meldira. Lo Dimas kan?”
Dimas hanya diam menatap curiga
pada gadis itu.
“Tadi gue liat lo ke pabrik kakek
gue. Gue cucunya kakek Acong.”
“Oh ya, halo. Maaf ya. Aku kaget
tiba-tiba ada orang yang belum aku kenal menyapaku.” ujar Dimas.
“Gak apa-apa. Ini cobain deh.”
Dimas menerima es krim pemberian
Meldira. Es krim itu begitu lembut. Rasanya begitu manis dan segar.
“Danau ini cantik ya.”
“Iya aku kesini tiap kali aku
merasa sedih dan kesepian.” sahut Dimas
Meldira tersenyum melihat teman
barunya itu. Sejak itu mereka sering bermain bersama. Mereka membicarakan
banyak hal. Dimas sering menceritakan cerita hantu yang berkembang di
daerahnya. Meldira walaupun seorang anak kota namun sangat rendah hati. Ia
tidak pernah malu bermain di danau, becek-becekkan di sawah atau memanjat
pohon. Ia juga sering menceritakan Dimasi berbagai tempat indah di dunia. Tahiti,
Busan, New Zealand dan Utrecht. Mengobrol bersama Meldira membuat Dimas merasa
berkeliling dunia. Tidak terasa Dimas mulai melupakan kesedihannya berpisah
dengan kedua temannya.
Suatu
hari Meldira mengajak Dimas bertemu di danau. Dimas tahu ia terlambat. Ia
mempercepat langkahnya. Hari ini Meldira tampak begitu cantik dengan rok merah
dan jepit warna senada di rambutnya. Begitu melihat Dimas, gadis itu langsung
tersenyum
“Hei, mas. Darimana aja?”
“Maaf ya, aku baru selesai kerja.
Tadi ada beberapa tahu yang harus dikemas dulu. Besok harus dikirim ke Jakarta.”
Meldira menyodorkan es krim lagi
“Mel, besok ada pasar malam. Kita
kesana yuk.” ajak Dimas
Meldira terdiam. Ia hanya menatap
es krimnya
“Mas, besok gue harus pulang.” ucapnya
sedih
“Oh gitu. Gak masalah. Nanti kapan-kapan aku main deh ke Jakarta.” Ujar Dimas
“Aku gak pulang ke Jakarta, mas.”
“Oh gitu, Gak masalah. Aku juga punya teman di Bandung. Mungkin kapan-kapan
aku bisa mengunjungimi.”
“Mas … Gue akan pulang ke New
York.”
Dimas terhenyak.
“New York …? Amerika maksudmu?”
“Iya, Amerika. Kedua orang tuaku
tinggal disana.”
“Hemhh, jadi kita …”
“Mungkin ga akan ketemu lagi.” potong
Meldira
“Lo tau mas, kenapa gue suka
makan es krim? Es krim itu seperti cinta. Jika kau tak jaga maka ia akan
meleleh, mencair dan hilang. Karena itu, tiap orang harus menjaga es krimnya
masing-masing dan melindunginya semaksimal mungkin dari paparan sinar matahari.”
jelas Meldira panjang lebar
Dimas tak mampu berkata-kata. Satu
bulan pertemuannya dengan Meldira seperti musim semi baginya. Ia tidak pernah
sedih dan tidak pernah kecewa lagi pada nasibnya. Ia bahkan punya mimpi
sekarang.Hari itu menjadi hari terakhir pertemuan Dimas dan Meldira. Dimas
kehilangan satu lagi teman baiknya.
Beberapa bulan kemudian babah
Acong memanggil Dimas. Ia terlihat serius
“Mas, apa kamu mau jadi tukang
tahu terus?”
“Tentu tidak, bah.”
“Kamu punya mimpi?”
“Tentu bah, saya punya punya
cita-cita.”
“Apa itu?”
“Saya ingin punya pabrik es krim.
Saya mau memberikan kebahagiaan pada semua orang.” ujar Dimas mantap
“Hemhh, begitu ya. Baiklah,
bagaimana jika kamu saya sekolahkan? Pabrik es krim ya, hemhh. Mungkin cocok
jika kamu belajar teknik industri atau teknik kimia. Tapi, jangan belajar di
Indonesia. Belajarlah ke luar negeri. Selain bisa mengembangkan bahasa asing,
kamu juga bisa lebih survive dan punya networking yang luas.” ucap babah Acong
Dimas hanya bisa melongo. Ia
tidak menyangka mendengar ucapan babah Acong.
“Mengenai biaya nanti babah yang
urus. Babah tahu kamu pintar, sayang kalau hanya menjadi tukang tahu. Loh, loh itu kenapa kamu melotot begitu?
Gak suka sama ide babah?” ucap babah
Acong heran
“Bu .. bukan begitu bah. Saya
hanya kaget dan tidak menyangka” ujar Dimas
“Karena itu ayah kemudian kuliah
di University of Hawaii?” tanya Carisya
“Yap.”
“Dan bertemu dengan tante Adisti
disana?”
“Tepat. Oh iya, gantungan boneka
itu dari tante Adis loh. Kamu lihat kan mereka punya kaki. Katanya, kalau kamu
kaitkan kakinya seperti ini, kamu bisa hidup bersama orang yang kamu sayangi.” jelas
Dimas
“Apa ayah pernah menghubungi tante Meldira lagi sejak itu?”
“Ayah selalu berkirim surat
dengan tante Meldira. Bahkan ayah pernah pergi ke New York untuk bertemu dan
mengabarinya bahwa ayah akan bertunangan dengan tante Adisti. Well, Meldira gak pernah pulang ke
Indonesia. Katanya ia sibuk. Bahkan kami sudah berhenti berkirim kartu pos
lagi. Padahal dulu dia gak begitu.”
Tergambar raut kesedihan di wajah
ayahnya. Carisya sekarang tahu apa makna tutup es krim itu.
“Ayah, kenapa ayah gak pernah menikah dengan tante Adis?”
“Hemhh, mungin ayah belum siap.
Entahlah, ayah merasa belum siap saja.”
“Dari sepuluh tahun yang lalu?”
“Hemhh, yaaah … begitulah.”
“Ayah, ayo kita ke New York.”
“He? New York? Mau ngapain?”
“Ketemu tante Mel. Kita ambil es
krim ayah” ujar Carisya sambil tersenyum
“Ta … tapi.”
“Ayah, waktu ayah mengambil aku
dan Rian dari panti asuhan, aku merasa itu adalah hari terbaik dalam hidupku. Aku
merasa hujan es krim setiap hari. Tante Adis baik. Sangat baik. Tapi, ia bukan
es krim ayah. Ayo ayah, kita jemput es krim ayah.”
New York, 21 April 2015
Angin
lembut menyapa malam. Carisya dan Rian tersenyum. Baru pertama kali mereka
pergi ke New York. Dimas duduk. Diam, kaku tak bergerak. Hatinya serasa mau
loncat. Sudah lima kali ia bolak-balik ke kamar mandi. Ketiga orang itu memang
sengaja datang setengah jam lebih awal dari janjinya. Tiba- tiba seorang gadis
berambut ikal dengan senyum menawan datang menghampiri meja mereka. Gadis itu
memakai gaun brokat berwarna peach dengan rok sutra selutut berwarna kulit. Cantik
sekali. Ia tersenyum manis seraya mengatakan
“Hai, mas? Apa kabar. Ya ampun,
siapa ini lucu banget.”
“Hai, mel. Ehm, ini … anakku.
Carisya dan Rian.”
“Anak adopsi kok, tante.” timpal Carisya
“Halo, haloo. Aku Meldira.”
Mereka terlarut dalam
perbincangan hangat di pinggir sungai Brooklyn. Dimas dan Meldira membuka
kenangan mereka satu persatu sementara Carisya dan Rian asik bermain di pinggir
sungai. Pantulan cahaya malam menambah spektakulernya pemandangan kota yang
dijuluki kota tak pernah tidur itu. Ditemani alunan biola, The River Café
menjadi tempat paling romantis di seantero New York.
Dimas mengulurkan tangannya.
Memberikan sebuah es krim pada Meldira.
“Oh, wow. Ini es krim baru ya di
Indonesia?”
“Iya, itu es krim buatan
pabrikku.”
Meldira tersenyum. Ia lantas
membuka tutup es krim cup itu.Matanya terpana. Dunia terasa seakan berhenti.
Tidak seperti es krim lainnya yang berwarna putih, pink atau coklat, es krim
itu memperlihatkan warna yang berbeda. Sebuah benda bulat bertahtakan permata
duduk manis di dalamnya.
“Mel, aku tahu aku terlambat. Aku
tidak pernah menikah dengan siapapun karena aku tidak pernah menyadari bahwa
aku jatuh hati pada seorang gadis yang memberikanku es krim, yang membawaku
berpetualang ke Busan, Utrecht, New Zealand dan kota-kota indah lainnya. Aku
terlalu bodoh untuk menyadari bahwa tidak ada satupun es krim yang aku buat
dengan tanpa mengingatmu. Aku …
“Lama banget Iya aku mau. Aku mau jadi temanmu hari ini, tiap pagi,
siang, malam dan tiap detik lainnya. Iya aku mau melihat Carisya dan Rian
menemukan cinta sejatinya. Iya aku mau melihat rambut putihmu dan kerut kerut
di wajahmu.Ya, aku mau.” ootong Meldira sambil tersenyum.
Bintang di langit berkelap kelap
indah. Hembusan angin musim semi berpadu dengan bisingnya kota di kejauhan.
Dimas merasa New York hujan es krim hari itu